Senin, 23 Juni 2025

Published Juni 23, 2025 by Media Dakwah with 0 comment

Perwalian dalam Pernikahan

 


Secara etimologi wali berasal dari bahasa Arab (الولي) yang diartikan sama dengan قريب  yang berartu dekat.[1] Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali yang paling berhak menikahkan adalah wali yang paling dekat hubungannya dengan mempelai perempuan (wali aqrob), sehingga muncul tartibul wali (urutan yang berhak menjadi wali) dimana runtutan para wali juga dimulai dari ayah, kakek dan seterusnya, sehingga ayah lebih berhak menikahkan dibanding kakek.[2]

Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Akad nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki- laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.[3]

Di Indonesia perkawinan merupakan salah satu syari’at Islam yang diakomodir menjadi Undang-undang tepatnya UU No. I tahun 1974. Di dalam Undang-undang tersebut pasal yang menjelaskan bahwa perkawinan harus mendapat persetujuan kedua calon mempelai, yaitu terdapat dalam bab II tentang syarat-syarat perkawinan. Dalam Pasal 6 diatur sebagai berikut:

Ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum  mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Ayat (3) : Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya

Ayat (4)  : Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) pembahasan wali diatur pada Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23. Karena begitu pentingnya posisi wali dalam suatu perkawinan, maka KHI menjelaskan dalam Pasal 19 bahwa wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Dalam Pasal 20 dijelaskan bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Dan wali nikah itu terdiri dari wali nasab dan wali hakim yang dijelaskan terperinci dalam Pasal 21, 22, 23.

Pasal 21 ini menjelaskan tentang urutan wali nasab, yaitu:

(ayat 1) :  Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama : kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari ayah, dan seterrusnya.

Kedua : Kelompok kerabat laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga : Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat :  kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

 (ayat 2) :  Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(ayat 3) :  Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah

(ayat 4) :  Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau samasama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Dalam Pasal 22 dijelaskan bahwa apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikut.

 



[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap,(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),1582.

[2] Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, (Surabaya: Terbit Terang, 2006),27.

[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011),77.

0 comments:

Posting Komentar