Bait Burdah ke-19 :
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ
شَبَّ عَلى
حُبِّ الرَضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
“Nafsu itu ibarat bayi, jika dirinya tetap
menyusu ia akan terus menyusu, bila ia disapih maka ia akan berhenti.”
Setelah membicarakan keburukan hawa nafsu dan siasat/cara
dalam mengalahkan hawa nafsu. Dalam bait ini penyair memperkuat ikhtiyar
seorang yang sedang melawan nafsunya, bahwa dengan usanya yang kuat maka akan
dapat memutus atau mengakhiri kemaksiatan yang berasal dari dorongan hawa nafsu
dan Penyair mengibaratkan nafsu seperti bayi dengan Asi ibunya, dimana jika
bayi terus tetap menyusu, maka bayi tersebut akan terus menyusu, bila ia
disapih maka ia akan berhenti.
Sebagain ulama ditanya tentang Islam,
سُئِلَ بَعْضُهُمْ
عَنِ الْأِسْلَامِ فَقَاَل ذَبْحُ النَّفْسِ بِسَيْفِ الْمُجَاهَدَةِ وَمَدَى
الْمُخَالَفَةِ
Kemudian dijawab, Yaitu dengan membunuh hawa nafsunya
dengan pedang mujahadah dan terus melawan keinginan hawa nafsu.
Ketika keterangan bait ini dikaitkan dengan bait
sebelumnya فَلَا
تَرُمْ باِلْمَعَاصِي كَسْرَشَهْوَتِهَا “ Maka jangan berharap dapat memecah syahwat
dengan melakukan suatu kemaksiatan” artinya seorang yang
ingin terbebas dari kebiasaan maksiat harus berhenti dari apa yang menjadi
kebiasaanya. karena sesungguhnya syahwat Nafsu dalam kemaksiatan itu
seperti seperti bayi, yang jika dirinya tetap menyusu ia akan terus
menyusu, bila ia disapih maka ia akan berhenti.
Artinya membiarkan dan mengabaikan hawa nafsu dalam
dirinya, serta tidak ada penolakan dalam dirinya ketika nafsu menggoda untuk
maksiat, maka kecenderungan terhadap maksiat akan menjadi kuat. Tetapi apabila
ia meninggalkan kecenderungan yang mendesak untuk melakukan keburukan dan menyempurnakannya
dengan melakukan riyadoh dan ketaatan, maka ia akan dihiasi dengan perhiasaan
orang-orang yang taat, dan akan dihiasi dengan pakaian orang-orang yang
bertakwa, dan akan bersinar dengan cemerlangnya sinar ilmu-ilmu keyakinan dan
pengetahuan tentang Ketuhanan.
Bait Burdah ke-20 :
فَاصْرِفْ
هَوَاهَا وَحَاذِرْ أَنْ تُوِلِّيَهُ
إِنَّ
اْلهَوى مَا تَوَلّى يُصِمْ أَوْيَصِم
Hindarilah keinginan nafsu, dan waspadalah
agar nafsu tidak menguasaimu, sesungguhnya hawa nafsu itu apabila berkuasa akan
membunuh atau menjelekan
Dalam bait ini penggunaan kata حاذر
mengandung suatu isyarat untuk waspada dan berhati-hati terhadap nafsu yang
menunggu lengahnya diri seseorang jatuh pada kesenangan nafsu. Berpaling dari
keinginan buruk nafsu dengan tidak mengikuti keinginannya sebab nafsu amarah
mengajak kepada kesesatan tiada kebaikan baginya.
Imam al-Bajuri mengingatkan, bahwa nafsu itu melemparkan
manusia kepada keinginan buruknya (hawa nafsu). Maka apabila hawa nafsu diberi
kekuasaan dan berkuasa akan membuat seseorang hancur dan membuat cela pada dirinya.
Amirul Mukminin, Ali bin Ali Thalib mengatakan, “Aku
khawatir atas kamu dua hal, yaitu sikap tunduk pada hawa nafsu dan memelihara
keinginan yang tak terkendali. Karena nafsu itu menjauhkan kita dari haq (kebenaran,
takwa, dan Allah); dan karena pengharapan yang tak terkendali membuat orang
lupa akan hari kemudian.
Secara harfiah, kata “hawiyah” berarti mencintai,
menggairahi, sangat menyukai sesuatu. Sesuatu sangat dikehendaki seseorang
karena dorongan alamiyahnya. Jika tidak dikendalikan oleh akal dan syariat
Islam maka wujud jasmaniah manusia cenderung pada gairah dan nafsu. Aka tetapi,
kemungkinan penggunaan “hawa” sebagai istilah yang sah di sini (haqiqah
Syar’iyyah) adalah dengan arti khusus, yakni kecenderungan pada
isyarat-isyarat setan untuk menetapkan tujuan hidup demi kepuasan di luar
syariat yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Keburukan sikap tunduk pada nasfu menurut Al-Quran
sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Qashah ayat 50-51:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ
أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ
بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
(50) وَلَقَدْ وَصَّلْنَا لَهُمُ الْقَوْلَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (51(
Artinya : Maka jika
mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah
bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak
mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya telah Kami turunkan
berturut-turut perkataan ini (Al-Qur'an) kepada mereka agar mereka
mendapat pelajaran.(QS. Suart Al- Qashah: 50-51)
Ayat di atas
menegaskan bahwa Allah SWT. Mencela tunduk pada nafsu. Dalam sebuah hadis Qudsi
dalam Al-Kafi dari Imam Baqir dikatakan, Nabi Muhammad SAW telah
bersabda, Allah SWT berfirman, Demi Kemulian-Ku, kebesaran-Ku, cahaya-Ku,
keagungan-Ku, dan demi tingginya derajat-Ku, jika hamba-Ku lebih memilih hawa
nagsunya dari pada harapan-Ku, Aku jadikan dia dalam kebingungan. Aku jadikan
hidupnya di dunia ini dalam kesusahan dan hatinya terpikat pada dunia ini
meskipun tidak Aku berikan kepadanya apa pun selain dari pada yang telah Aku
takdirkan baginya. Demi kehormatan-Ku, kemualian-Ku, bila hamba-Ku lebih
menyukai apa yang menjadi harapan-Ku dari pada hawa nafsu-Nya,
malaikat-malaikat akan melindunginya, langit dan bumi akan menjamin rezeqi
baginya, dan Aku menjaga jalan (perdagangan amal dan pahalnya) dan membawakan
dunia untuknya meskipun ia (bumi) enggan dan menolaknya.
Hadist Qudsi tersebut
adalah hadist sahih, yang teks dan kata-katanya memberi kesaksian akan
keasliannya, dan sumbernya tak lain adalah Allah SWT, sumber dari semua
pengetahuan.
Dalam banyak ayat dan hadist disebutkan cela hawa nafsu
sebagai inti dari akhlak buruk, nampak dalam perbuatan dan terselubung dengan
sesuatu yang menutupinya dan sebagai pintu masuk kejahatan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Jatsiyah 23:
أَفَرَأَيْتَ
مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى
سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ
بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (23(
Arttinya
: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya
sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?. (Al-Jatsiyah: 23)
Semakna
dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هَادِيَ لَهُ
وَيَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ(186(
Artinya
: Barang
siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi
petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. (Al-A'raf: 186)
Imam
Asy-Sya’bi berkata : “dinamakan hawa (nafsu) karena menjatuhkan pemiliknya ke
dalam neraka”. Maka hawa (nafsu) biang keladi dari semua celaka.
Dalam Al-Kafi, Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata,
berhati-hatilah terhadap nafsumu sebagaimana engkau berjaga diri dari musuhmu
karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya bagi manusia daripada nafsu mereka
sendiri dan akibat dari segala yang mereka katakan. Ingatlah bahwa nafsu itu
tidak ada habisnya dan takkan pernah terpuaskan. Bila seseorang melangkah
setapak untuk menurutinya, ia akan terikat untuk melangkah lebih jauh. Jika ia
tunduk pada salah satu nafsunya, ia akan segera dipaksa mengikuti sejumlah
nafsu lain lagi. Jadi, setiaplangkah tunduk (pada nasfu) akan membuka dirimu
terhadap sejumlah watak tercela yang menggiringnya dan melalui itu semua,
engkau akan menjadi korban seribu macam hal yang amat dibenci, semua jalan
menuju Allah tertutup bagi manusia yang menjadi budak nafsu”