Tampilkan postingan dengan label Hukum Perkwaninan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Perkwaninan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Oktober 2025

Published Oktober 15, 2025 by Media Dakwah with 0 comment

Ikrar Taukil wali Bil Kitabah

 
Kua Pabedilan, Rabu (15/10/2025). kedatangan wali nasab yang akan melakukan ikrar taukil wali bil kitabah di KUA Kecamatan Pabedilan. Dalam hal ini warga dari desa Kalimukti memilih opsi Taukil Wali bil Kitabah karena beliau tidak dapat hadir sebagai wali nasab pada pernikahan anaknya dengan sebab jarak yang jauh di daerah Aceh.

Menurut Bapak Sakruroji, S,Ag. Taukil wali bil kitabah adalah salah satu layanan yang ada di KUA sebagai solusi ketika wali nikah berhalangan hadir dan tidak dapat menjalankan perannya sebagai wali nikah dalam proses akad. Sehingga dengan layanan ini jalannya akad nikah akan tetap sah.

Taukil wali dalam Hukum Positif

Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2019 yang merupakan pedoman terbaru terkait pencatatan perkawinan, Peraturan Menteri Agama tersebut salah satu pasalnya menerangkan terkait dengan wali. Wali dalam pernikahan adalah rukun, yang artinya harus ada dalam sebuah perkawinan, tanpa adanya wali, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 mengkategorikan ada dua jenis wali yaitu, wali nasab dan wali hakim.

Lalu bagaimana dengan dasar kebolehan taukil wali. Dasar kebolehan taukīl wali dalam hukum positif dapat di temukan di dalam  Kompilasi Hukum Islām yang menjelaskan tentang kebolehan perwakilan wali dalam pernikahan sebagaimana tercantum pada pasal 28 yaitu “Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan, wali nikah juga dapat diwakilkan kepada orang lain.”

Taukīl wali nikah dalam Kompilasi hukum Islām pasal 28 kemudian dipertegas dengan mekanisme taukīl wali dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2019 tentang pencatatan Perkawinan, pasal 12 ayat 4 dan 5 disebutkan:

Ayat (4)      : “Untuk melaksanakan ijab qobul pada saat akad nikah,   wali nasab dapat mewakilkan kepada Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN/PPN, atau orang lain yang memenuhi syarat”

Ayat (5)      : “Dalam hal wali tidak hadir pada saat akad nikah, wali membuat surat taukīl wali dihadapan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN sesuai dengan domisili/keberadaan wali dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi”

Dalam pasal 12 ayat 4 PMA nomor 20 tahun 2019 dijelaskan aturan bagi wali pada saat pelaksanaan ijab qobul boleh mewakilkan tugasnya sebagai wali nasab untuk menikahkan putrinya kepada Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN/PPN, atau orang lain yang memenuhi syarat. Adapun Dalam pasal 12 ayat 5 PMA nomor 20 tahun 2019 bagi wali nasab yang tidak dapat hadir pada saat akad nikah, maka sang wali diharuskan untuk membuat surat taukīl wali dihadapan Kepala KUA Kecamatan /Penghulu/PPN LN sesuai dengan domisili/keberadaan wali dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

Dari pemaparan tersebut menunjukan dasar hukum kebolehan taukil wali bil kitabah yang menjadi salah satu layanan yang ada di KUA.

 
Read More

Senin, 23 Juni 2025

Published Juni 23, 2025 by Media Dakwah with 0 comment

Perwalian dalam Pernikahan

 


Secara etimologi wali berasal dari bahasa Arab (الولي) yang diartikan sama dengan قريب  yang berartu dekat.[1] Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali yang paling berhak menikahkan adalah wali yang paling dekat hubungannya dengan mempelai perempuan (wali aqrob), sehingga muncul tartibul wali (urutan yang berhak menjadi wali) dimana runtutan para wali juga dimulai dari ayah, kakek dan seterusnya, sehingga ayah lebih berhak menikahkan dibanding kakek.[2]

Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Akad nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki- laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.[3]

Di Indonesia perkawinan merupakan salah satu syari’at Islam yang diakomodir menjadi Undang-undang tepatnya UU No. I tahun 1974. Di dalam Undang-undang tersebut pasal yang menjelaskan bahwa perkawinan harus mendapat persetujuan kedua calon mempelai, yaitu terdapat dalam bab II tentang syarat-syarat perkawinan. Dalam Pasal 6 diatur sebagai berikut:

Ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum  mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Ayat (3) : Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya

Ayat (4)  : Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) pembahasan wali diatur pada Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23. Karena begitu pentingnya posisi wali dalam suatu perkawinan, maka KHI menjelaskan dalam Pasal 19 bahwa wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Dalam Pasal 20 dijelaskan bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Dan wali nikah itu terdiri dari wali nasab dan wali hakim yang dijelaskan terperinci dalam Pasal 21, 22, 23.

Pasal 21 ini menjelaskan tentang urutan wali nasab, yaitu:

(ayat 1) :  Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama : kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari ayah, dan seterrusnya.

Kedua : Kelompok kerabat laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga : Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat :  kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

 (ayat 2) :  Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(ayat 3) :  Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah

(ayat 4) :  Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau samasama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Dalam Pasal 22 dijelaskan bahwa apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikut.

 



[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap,(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),1582.

[2] Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, (Surabaya: Terbit Terang, 2006),27.

[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011),77.

Read More

Selasa, 17 Juni 2025

Published Juni 17, 2025 by Media Dakwah with 0 comment

Relasi Suami dan Istri dalam Keluarga

 


A.    PENGERTIAN RELASI SUAMI DAN ISTRI

Kehidupan rumah tangga merupakan bentuk kehidupan yang timbul dari ikatan pernikahan yang  mengakibatkan timbulnya relasi antara anggota keluarga terutama antara suami dan istri, anak dan orang tua. Tentu saja bersamaan dengan upaya mencapai tujuan dan harapan  pernikahan, yaitu menciptakan hubungan yang Sakinah, Mawaadah, Warohmah, terkadang sering terjadi konflik yang timbul dalam kehidupan keluarga. Salah satu sebab Kehidupan keluarga yang tidak harmonis adalah kurangnya memahami relasi satu sama lain yang seharusnya difami betul dalam kehidupan rumah tangga.

Dalam Al Qur’an dalam rangka memelihara hubungan baik yang timbul dari ikatan pernikahan Allah SWT berfirman  suat An-Nisa ayat 19 ;

........وعاشروهن بالمعروف فإن كره تموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا  

Artinya :……..Bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

 Khoirudin Nasution menyebutkan bahwa Hubungan suami adalah hubungan mitra, sejajar, saling membutuhkan dan saling mengisi. Karakter keluarga Islam tentu saja menjujung Nilai luhur rasa Hormat dan tali silaturrahim antara satu sama lain, berbeda bila dibandingkan praktek kekeluargaan yang ada pada masa sebelum Islam, dimana unsur kekeluargaan terpecah belah dan ikatannya tercerai berai. Kekeluargaan pada masa itu benar-benar diliputi rasa dengki, kebencian dan permusuhan.

Dalam pernikahan, Hubungan suami dan istri  adalah hubungan yang saling membutuhkan dan  mengisi satu sama lain. Interaksi yang terjalin adalah seimbang, bukan seperti majikan dan bawahannya. Relasi suami istri sangatlah menentukan keharmonisan keluarga. Relasi suami istri yang sehat adalah apanila suami istri dapat memainkan peran dan tanggung jawab masing-masing. Menurut Dlenn, terdapat tiga indikator dalam penyesuaian dalam keluarga yaitu konflik, komunikasi, dan berbagitugas dalam rumah tangga.

Terlepas dari pengertian yang disebutkan, Sebuah keluarga tidak akan terlepas dari pemimpin yang bertanggung jawab atas pengawasan serta berjalan baiknya perkumpulan tersebut.,Ikatan pernikahan yang menyatukan kedua insan manusia dalam hubungan keluarga. sudah seharusnya anggota keluarga berbagai peran sebagai pimpinan yang memberi nasihat dan memberi nafkah keluarga, dan anggota lain saling patuh dan menghormati.

Dalam Islam telah dirumuskan dengan imbang antara hubungan suami dan istri, hal ini tergambar dengan banyaknya hadits yang khusus terkait peran seorang suami dan juga hadits yang terkait dengan peran seorang istri. Dalam hal ini ketika seorang wanita menikah, maka ia memiliki peran besar mendidik. Lelaki adalah pemimpin para wanita. Para wanita memiliki pengaruh dalam meluruskan jalan para lelaki dan menguatkan mereka untuk menjadi pemimpin yang tidak keluar jalur. Dan sebaliknya, jika wanita mampu meluruskan suaminya, maka tentulah berdampak di dalam rumah tangganya.

 

B.     HUBUNGAN IDEAL SUAMI ISTRI DALAM HADITS

Dalam Islam, Hadits Nabi menempati sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an ditegaskan perintah untuk mentaati perintah Rasulullah SAW antara lain surat Ali Imran:32, al Nisa:59 menyebutkan perintah untuk mentaati Rasulullah beriringan setelah perintah untuk taat kepada Allah SWT. Dalam ikatan pernikahan islam Nabi Muhammad telah membentengi dengan mengusung konsep Sakinah, Mawaddah dan Warohmah dan memerintahkan mempergauli wanita dengan baik sesuai tabiat dan fitrahnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:

خيىركم خيركم لأهله,وانا خيركم لأهلى

Artinya : Orang terbaik di antara kalaian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku (HR. Ibnu Majah).

 Adapun pondasi peraturan hubungan Hubungan suami istri antara lain :

1.      Menempatkan suami sebagai kepala keluarga.

Kepemimpinan ini adalah suatu keharusan yang sesuai tuntunan sunnatullah dalam kehidupan. Dan keharusan itu juag merupakan suatu kebutuhan sebuah keluarga yang terdiri dari individu-individu.

Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Abu Dawud Rasulullah SAW bersabda :

إذا خرج ثلاثة في سفر ...فليؤمروا أحدهم ( رواه أبوداود بإسناد حسن )

Artinya : Bila tiga orang keluar bepergian maka hendaklah mereka menjadikan salah satu darinya pemimpin. (H.R. Abu Dawud dengan sanad Hasan)

Bila kita memahami isi kandungan hadist tersebut yang dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga setidaknya dapat difahami pentingnya posisi kepala keluarga untuk terus membimbing dalam tanggung jawab yang begitu besar, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat : 34. Dalam Al-Qur’an  menjelskan terkait profil kepala keluarga sebagai berikut :

الرجال قومون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم .  فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله . والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن  فإ أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا                

Artinya :kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (An-Nisa’ : 34)

Dari dua dalil tersebut dapat difahami bahwa perlunya  menempatkat Suami sebagai kepala keluarga yang memiliki Tanggung jawab suami yang begitu besar terhadap keluarga terutama pada istrinya.

Adapun beberapa Hadist terkait ajaran yang ditekankan pada suami oleh Islam sebagai kepala keluarga dalam relasi suami istri antara lain :

1.      At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda :

حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمدبن عمرو حدثنا أبو سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وخيا كم خياركم لنسائهم خلقا قال وفي الباب عن عائشة وابن عباس قال أبو عيسى حيث أبي هريرة هذا حديث حسن صحيح                                                                       

   Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin 'Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya." Abu Isa berkata; "Hadis semakna diriwayatkan dari Aisyah dan Ibnu Abbas." Dia menambahkan; Dia Menambahkan “Hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan sahih”

2.      Al-Bukhari, Muslim dan lainnya juga telah meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:

حدثنا إسحق بن نصر : حدثنا حسين الجعفى ، عن زائدة ، عن ميسرة ، عن أبي حازم ،عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يؤذي جاره ،واستوصوا بالنساء خيرا ، فانهن خلقن من ضلع ،وان أعوج شيئ في الضلع أعلاه، فان ذهبت تقيمه كسرته، وان تركته لم يزل أعواج. فاستوصوا بالنساء خيرا                                                            

Artunya : Telah menceritakan kepada kami  Ishaq bin Nas: telah mencerutakan kepada kami Husain al ju’fa, dari Zaidah, dari Maysaroh, dari Hazim Dari Abi Hurairah ra berkata : Nabi Muhammad SAW bersabda : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sakiti tetanggamu, Terimalah wasiat dariku terkait dengan berbuat baik terhadap wanita. Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, sesungguhnya sebengkok-bengkok tukang rusuk adalah yang disebelah atas. Bila kalian bertandang meluruskannya, maka kalian akan memecahkannya. Dan bila kalian biarkan, maka tulang rusuk itu akan selamanya bengkok, maka terimalah wasiat dariku dengan berbuat baik terhadap wanita”

Beberapa Hadist hadist tersebut memberi ajaran secara jelas bahwa bagi seorang suami yang mengemban tugas sebagai kepala keluarga yaitu harus menggauli istri dengan penuh kasih sayang, sebab salah satu barometer pribadi yang baik dapat dilihat ketika bagaimana seseorang ketika bergaul dengan istri dalam kehidupan keluarga.

2.      Peran dan kepatuhan Istri terhadap suami dalam Keluarga

Status kepemimpinan yang di jadikan Allah SWT bagi Suami terhadap Istri ini berimplikasi terhadap banyak hal. Terkadap Perintah suami menjadi Wajib dipatuhi ada yang sunnah. Dan ada pula yang haram dan makruh, hal seharusnya oleh wanita memperhatikannya. Dalam contoh seorang istri yang haram untuk patuh pada perintah suami yaitu semisal perintah suami mengarah pada hal yang bersifat maksiat semisal perintah ajakan meninggalkan Sholat, korupsi dll.

di sebutkan terkait keutamaan dan janji pahala yang akan diberikan terjadap wanita yang hidup dalam ketaatan terhadap suami sholeh. Dalam sebuah hadist di sebutkan dari At-Tirmidzi yaitu :

حدثنا واصل بن عبد الأعلى. حد ثنا محمد بن فضيل عن عبد الله بن عبد الرحمن أبى نصر، عن مساور الحميرى، عن أمه، عن أم سلمه قالت :قٌال رسول الله صلى الله عليه وسلم (أيما امرأة ماتت وزوجتها عنها راض، دخلت الجنه )                                                       

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Washil bin ‘Abdil A’la, Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari ‘Abdillah bin ‘Abdirrohman Abi Nashr, Dari Musawir Al Himari dari Ibunya , dari Ummi Salah berkata  : Nabi Muhammad SAW Bersabda : Wanita yang meninggal dunia dalam keadaan suaminya ridha atas dirinya maka ia (wanita tersebut) masuk surga” (HR. At Tirmidzi )

 

Sumber:

Al Qur’an

Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Bardizbah al-Ju‘fī al-Bukhārī, Shohih Buhkori, Vol 3 (Bairut: Darul Ibnu Katsir,-)

Abu ‘Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saura, Jami’u Shohih, Sunan At Tirmidzi, Vol 3  ( Baerut : Darul Kutub AL ‘Ilmiyah, 1356 H)

Abu ‘Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saura, Jami’u Shohih, Sunan At Tirmidzi, Vol 3  ( Baerut : Darul Kutub AL ‘Ilmiyah, 1356 H) h

Al Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali, Ihya Ulumiddin, vol : 2( Bairut: Darul Fikr)

Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan Islam I, Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: Academia, 2005)

Lely Noormondhawati, Islam Memuliakanmu, Saudariku, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013)

Saidah Ramadhan.”Keluarga : Menjaga Relasi melalui konflik”, dalam jurnal Psikologi pendidikan islam

Sayyid Muhammad Al-Maliki, Etika Islam Membina Rumah Tangga (Suarabaya : Hai’ah Ash-Shofwah Al- Malikiyyah 2019)

Sayyid Muhammad Al-Maliki, Etika Islam Membina Rumah Tangga (Suarabaya : Hai’ah Ash-Shofwah Al- Malikiyyah 2019)

Terjemah kitab AL Habib Umar Bin Hafidz, Salah al-Usrah Wa Daur al- Abawain Fi al-Tarbiyah dengan judul Sukses Parenting Di Era Milenial Ala Tradisi Salaf, (Malang:PPP Dar Ummahatil Mukminin 2020),

 

Read More